Rabu, Juli 29, 2009

Kuliah di PTN Tak Lagi Murah

Perubahan status menjadi badan hukum milik pemerintah justeru memicu kenaikan biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri.

Biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri (PTN) semakin mahal. Bahkan, bisa dibilang, biaya kuliah di PTN sama dengan perguruan tinggi swasta (PTS). Naiknya biaya pendidikan di PTN ini merupakan dampak dari perubahan status PTN menjadi badan hukum milik pemerintah (BHMN).

Dengan diberlakukannya status itu, pemerintah mengurangi subsidi yang diberikan untuk PTN. Kini, subsidi yang diberikan hanya sekitar 30 persen. Alasannya, karena dana yang dimiliki pemerintah terbatas. Karena itu, PTN diberikan kebebasan untuk mengelola keuangannya sendiri, termasuk mencari dana secara otonom. Hal ini dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari menaikkan uang SPP hingga membuka jalur-jalur khusus yang biaya kuliahnya sangat mahal.

Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Lody Paat mengatakan, mahalnya biaya pendidikan ini merupakan gejala terjadinya privatisasi pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. ‘’Jika dibiarkan, maka pendidikan tinggi nantinya hanya akan dinikmati oleh masyarakat kelas atas. Sementara masyarakat kelas bawah akan sulit untuk mendapatkan pendidikan yang layak,’’ kata Lody.

Selama ini, ungkapnya, biaya pendidikan sebagian besar dibebankan kepada masyarakat, yaitu sekitar 60-70 persen. Sementara pemerintah hanya menanggung sebesar 30-40 persen. Dengan begitu, dapat dikatakan pemerintah tidak menjalankan fungsinya untuk memberikan pendidikan yang dapat dijangkau oleh semua orang.

Bagi PTN sendiri, hal ini menimbulkan dilema. Di satu sisi PTN harus memberikan pendidikan berkualitas yang ditunjang dengan sumber daya manusia dan fasilitas yang memadai, sisi lain PTN membutuhkan biaya penyelenggaran pendidikan yang tidak sedikit, namun harus menyelenggarakan sistem pendidikan dapat dijangkau oleh semua orang, tanpa terkecuali.

Hal senada diungkapkan Wakil Rektor Bidang Akademik dan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Dr Ir Muhammad Anis, M Met. Ia mengatakan, pemerintah mengalokasikan dana yang terbatas untuk pendidikan tinggi. Karena, dana yang ada lebih difokuskan untuk penuntasan wajib belajar sembilan tahun yang sedang digulirkan. ‘’Di samping subsidi yang diberikan pemerintah, PTN mau tidak mau harus mencari pembiayaan pendidikan sendiri,’’ katanya.

Hal ini menjadi salah satu faktor mahalnya biaya pendidikan di PTN. Karena sebagian besar biaya operasional harus dicari sendiri. Salah satu komponennya adalah biaya kuliah dari mahasiswa. Anis mengakui, saat ini biaya pendidikan di UI tidak jauh berbeda dengan perguruan tinggi lain. Meskipun begitu, pendidikan di UI masih dapat dinikmati oleh semua orang.

UI menyediakan beberapa jalur masuk. Antara lain, jalur reguler, non-reguler, dan kelas internasional. Jalur reguler meliputi Prestasi dan Pemerataan Kesempatan Belajar (PPKB), Ujian Masuk Bersama (UMB), dan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Biaya untuk ketiga program ini sama. Meliputi uang pangkal dan Dana Pelengkap Pendidikan (DPP) yang dibayar satu kali selama kuliah, serta Biaya Operasional Pendidikan (BOP) dan Dana Kesejahteraan Fasilitas Mahasiswa (DKFM) yang dibayar tiap semester. Namun, untuk mengkomodir masyarakat yang kurang mampu, UI menerapkan sistem pembiayaan berjenjang. Yaitu sistem pembiayaan yang disesuaikan dengan kemampuan keluarga mahasiswa. Sistem berjenjang ini digunakan pada komponen uang pangkal dan BOP. Uang pangkal dipatok antara Rp 5 juta sampai Rp 25 juta. Kemudian BOP yang berkisar antara Rp 100 ribu sampai Rp 7,5 juta. Sementara DPP sebesar Rp 600 ribu dan DKFM Rp 100 ribu.

‘’Uang pangkal dan BOP disesuaikan dengan kemampuan penanggung biaya kuliah. Jadi, setiap orang berbeda. Bagi yang benarbenar tidak mampu, bisa kami bebaskan uang pangkalnya. Sementara untuk BOP hanya membayar Rp 100 ribu setiap semesternya. Namun bagi yang mampu harus membayar penuh,’’ ujar Anis.

Selain itu, UI juga menyediakan program beasiswa bagi mereka yang benar-benar tidak mampu. Dengan sistem ini, Anis berharap, semua orang dapat menikmati pendidikan di UI. Tidak terhalang dengan kemampuan finansial. Sementara untuk program non-reguler, UI tidak memberikan bantuan subsidi kepada mahasiswa. Jadi, mahasiswa harus membayar penuh biaya kuliah yang ditentukan.

Program non-reguler atau yang disebut juga Kelas Paralel merupakan program yang dibuka untuk memanfaatkan kapasitas pendidikan di fakultas yang menghapus program Diploma III. Karenanya, kelas ini hanya dibuka untuk program studi tertentu. Seperti Fisika, Kimia, Farmasi, Akuntansi, Sastra Cina, Sastra Arab, Sastra Jepang, Sastra Inggris, Sastra Prancis, Sastra Jerman, Sastra Belanda, Ilmu Perpustakaan, Administrasi Negara, Administrasi Niaga, dan Administrasi Fiskal. Anis menegaskan, kelas ini dibuka untuk memberikan kesempatan bagi mereka yang tidak dapat lagi mengikuti jalur reguler karena alasan usia. Keberadaan program ini pun berdiri sendiri. Sehingga tidak mengurangi kuota kelas reguler.

Untuk program ini, pembiayaan hampir sama dengan kelas reguler. Perbedaannya hanya pada uang pangkal dan BOP. Uang pangkal program ini sebesar Rp 10 juta. Sementara BOP sekitar Rp 6 juta sampai Rp 10 juta. Nilainya tergantung program studi yang dipilih.

Enam Jenjang
Tidak hanya UI yang menerapkan sistem berjenjang. Institut Pertanian Bogor (IPB) pun melakukan hal yang sama. IPB menggolongkan enam jenjang berdasarkan pemasukan bulanan orang tua. Mahasiswa yang orangtuanya berpenghasilan kurang dari Rp 500 ribu per bulan, dibebaskan dari biaya masuk. Untuk mahasiwa yang orang tuanya berpenghasilan diatas Rp 500 ribu rupiah, setidaknya harus mengeluarkan dana mulai dari Rp 2,5 juta sampai Rp 25 juta.

Biaya ini meliputi Tes Potensi Akademik, Program Pembinaan Akademik dan Multi Budaya, Program Penyangga Kesehatan dan Penanggulangan Kecelakaan Mahasiswa, Kegiatan Alih Tahun, Buku Pengantar Ilmu Pertanian, Kartu Mahasiswa/ATM Bank, Jaket Almamater, Buku Panduan IPB, program pengembangan institusi dalam rangka peningkatan mutu akademik dan peningkatan atau perbaikan fasilitas pendidikan.

Mahalnya biaya kuliah ini menuntut inovasi baru. Tidak hanya bagi PTN yang notabene merupakan perguruan tinggi rakyat. Tapi juga pemerintah selaku pemegang keputusan dan yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan. ‘’Pemerintah merupakan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan. Karenanya, pemerintah tidak boleh melepas sepenuhnya pelaksanaan pendidikan. Khususnya dalam hal biaya. Harus ada alokasi dana dan aturan yang jelas untuk pendidikan,’’ ujar Lody.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar