Bagi pengendara sepeda motor, helm merupakan salah satu atribut wajib yang harus digunakan. Karena unsur keamanan, pemerintah pun mengeluarkan ketentuan yang mewajibkan pengendara dan pembonceng sepeda motor untuk memakai helm. Ketentuan ini dimuat pada pasal 23 ayat (1) huruf (e) UU Lalu Lintas Nomor 14 Tahun 1992. Pada pasal ini disebutkan, setiap pengendara dan penumpang sepeda motor atau pengemudi kendaraan bermotor yang dilengkapi dengan rumah-rumah (seperti mobil), wajib menggunakan helm.
Bagi mereka yang kedapatan tidak menggunakan helm, sesuai dengan pasal 61 ayat (3) UU Nomor 14/1992, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000 (satu juta rupiah).
Ketua Umum Asosiasi Industri Helm Indonesia (AIHI), John Manaf mengatakan, helm merupakan atribut yang sangat penting bagi pengendara sepeda motor. Hasil survei yang dilakukan Departemen Perhubungan memperlihatkan, dari total kecelakaan yang melibatkan sepeda motor, lebih 50 persen mengalami luka serius di bagian kepala.
Melihat kenyataan ini, katanya, pemerintah merencanakan penerapan standar nasional Indonesia (SNI) helm secara wajib. Selanjutnya, pada tanggal 25 Juni 2008, diterbitkan Peraturan Menteri Perindustrian RI no 40/M-IND/PER/6/2008 tentang pemberlakuan SNI helm pengendara kendaraan bermotor roda dua secara wajib. Ketetapan tersebut berlaku secara efektif sembilan bulan sejak ditetapkan, yaitu tanggal 25 Maret 2009.
''Karena masih harus dilakukan pembinaan terhadap produsen helm skala kecil, maka kemudian pemberlakuan SNI helm secara wajib ditunda sampai dengan 1 April 2010,'' katanya.
Sebenarnya, jelas John, SNI untuk produk helm sudah ada sejak masih menggunakan nama SII (standar industri Indonesia). Pada tahun 1990, SII diganti dengan SNI dengan nomor SNI 09-1811-1990. Namun, SNI yang banyak mengadopsi norma-norma standar JIS (Japan industrial standard) ini masih bersifat sukarela. Sehingga belum banyak perusahaan industri helm yang melakukan sertifikasi untuk produk helmnya pada waktu itu. ''Pada tahun 2007, SNI 09-1811-1990 direvisi menjadi SNI 1811-2007,'' jelasnya.
Antara dua SNI tersebut terdapat perbedaan yang signifikan. Terutama pada metode dan parameter pengujian, persyaratan, serta alat uji. John pun mengklaim, SNI 1811-2007 lebih baik dibanding SNI sebelumnya karena mengadopsi banyak standar internasional. Sehingga, memberikan jaminan keselamatan yang lebih baik ketimbang yang lama.
Helm yang baik dan diyakini bisa memberikan kenyamanan lebih besar bila terjadi benturan adalah helm standar (full face) yang memenuhi empat unsur (komponen). Yaitu outer shell (bagian terluar) yang terbuat dari fiberglass atau thermoplastic seperti polycarbonate.
Kemudian ada impact-absorbing liner (bagian penahan benturan dari dalam helm). Biasanya bagian ini terbuat dari polystyrene. Lalu ada comfort padding (lapisan untuk kenyamanan seperti busa dan kain pelapis). Yang terakhir adalah retention system (sistem pengikat helm). Pengikat helm merupakan komponen yang sangat penting untuk memastikan agar helm tetap menempel di kepala meski terjadi kecelakaan.
Helm full face
Berdasarkan kriteria tersebut, helm yang memenuhi standar minimal keselamatan adalah yang berbentuk full face (menutup keseluruhan wajah). Helm model ini merupakan jenis helm yang memberikan keselamatan tertinggi. Walaupun memiliki konstruksi yang sama dengan helm full face, helm model three-quarter open face (populer sebagai 3/4) tidak direkomendasikan. Karena bagian dagu pengendara masih agak terbuka sehingga fungsi perlindungannya lebih kecil dibandingkan full face.
Hal senada diungkapkan Direktur Marketing PT Tara Kusuma Indah—produsen helm KYT dan MDS, Henry Tedja Kusuma. Ia menambahkan, selain menutupi kepala, pengendara juga harus memilih helm dengan ukuran yang pas dengan kepala. Sehingga dapat memberikan kenyamanan berkendara dan jaminan keselamatan yang lebih baik.
Yang tidak kalah penting, helm tersebut memiliki standarisasi yang baik atau sudah dipatenkan. ''Selama ini, pengendara sepeda motor cenderung menggunakan sugesti dalam memilih helm. Ini harus diperbaiki. Karena berfungsi sebagai alat keamanan, maka seharusnya pengendara lebih memperhatikan apakah helm yang dibeli memiliki standar sertifikasi keamanan atau tidak,'' katanya.
Karenanya, ia pun tidak keberatan jika pemerintah mewajibkan setiap produk helm harus memiliki SNI. Selama pemerintah memberikan standar yang baik dan kejelasan dalam segala prosedurnya. Bahkan, dengan mewajibkan SNI untuk helm, ia berharap produk lokal memiliki standar yang baik. Apalagi, katanya, SNI tidak datang begitu saja. Melainkan dibuat berdasarkan beberapa standar keamanan internasional.
Selain itu, tambahnya, dengan diwajibkannya SNI pada produk helm justru konsumen lebih diuntungkan. Karena memiliki kepastian dalam memilih helm yang yang layak pakai. Jadi, konsumen tidak lagi ragu memilih helm yang layak pakai dan mana yang tidak.
Menanggapi kontroversi SNI yang dibandingkan dengan berbagai sertifikasi lainnya, ia mengatakan, seharusnya standarisasi tidak dijadikan ajang kompetisi. Atau membandingkan standar mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk. Tapi, lebih sebagai screening awal untuk jaminan keselamatan.
''Kalau memang SNI dipandang memiliki kualitas yang lebih rendah, kan tidak masalah. Berarti helm yang telah melalui sertifikasi lain yang dianggap lebih baik harusnya lebih tenang. Karena pasti dengan mudah mendapatkan SNI. Itu tidak mengurangi kualitas mereka di mata pelanggan,'' jelas Hendry.
Ketua Umum Asosiasi Sepeda Motor Indonesia (AISI), Gunadi Sindhuwinata menambahkan, dengan SNI, diharapkan Indonesia bisa memiliki standar yang baik. ''Dalam memandang SNI kita harus berpikir secara nasional, rasional, serta berpikir mengenai pengembangan industri,'' katanya.
Namun, tegas Gunadi, sebelum berbicara mengenai SNI, yang paling penting adalah meningkatkan kesadaran dan disiplin pengendara dalam berlalu lintas. Selama ini, katanya, aturan penggunan helm telah lama diterapkan. Tapi faktanya banyak orang yang mengabaikan peraturan tersebut. Sehingga tingkat kecelakaan pun tinggi.
''Sebelum menetapkan aturan mengenai SNI, seharusnya kesadaran pengendara ditingkatkan dulu. Aturan yang dibuat pun harus mudah diaplikasikan. Baik bagi pengguna maupun penegak hukum. Karena keselamatan berkendara adalah tanggung jawab semua pihak. Pengendara, pembuat aturan, serta penegak hukum,'' jelas Gunadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar